Radio Rodja 756AM

Jumat, 01 April 2011

MUQADDIMAH


ABU USAAMAH SUFYAN BIN RANAN AL BYKAZI*

Segala puji hanyalah milik Alloh. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan sahabat beliau. Saya bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Alloh
semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Saya juga bersaksi bahwa
Muhammad itu adalah hamba dan utusan Alloh –semoga Alloh senantiasa
melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarga dan sahabat
beliau. Amma Ba’du :
Ibnu Mâjah, Ibnu ‘Asâkir dan al-Fasawî meriwayatkan di dalam Târikh-nya,
dan al-Baihaqî di dalam asy-Syu’ab dan hadits ini dinilai valid (shahîh) oleh
al-‘Albânî –semoga Alloh merahmatinya- bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-
Sholâtu was Salâm pernah ditanya : “Manusia bagaimanakah yang paling
utama (afdhal)?” Beliau menjawab :
̄
“Manusia yang paling utama adalah yang memiliki hati yang bersih dan
lisan yang jujur.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, adapun lisan yang jujur kami
telah mengetahuinya. Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan orang
yang memiliki hati yang bersih?”

Beliau menjawab :
“Dia adalah hati yang putih lagi murni, tidak ternodai oleh dosa, aniaya,
dendam dan dengki.”

Hadits ini menjelaskan kepada kita akan keutamaan (afdhalîyah) yang ada
pada orang-orang beriman. Yaitu siapa saja yang hatinya bersih dari rasa
dendam dan dengki terhadap saudaranya, maka ia berada di atas kebaikan
yang besar dan berada di atas keutamaan.

KEPADAMU AHLUSSUNNAH BERSATULAH SALAFIYYIN..
MUSUH DIDEPAN, UMAT MEMBUTUHKAN PENERANGAN...
LUPAKAN SENGKETA IJTIHADIYYAH..
LOYAL LAH KEPADA ULAMA SALAFIYYIN..
BAGIMU SAUDARAKU.. T
IADA FAEDAH KALIAN MENGHINA ULAMA...
SEDANGKAN MUSUH DIDEPAN HAMPIR MENDEKATI KITA..
TIADA BEDA KARNA KITA SALAFIYYIN... AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
SUNGGUH PERSENGKETAAN ANTARA KITA..
HANYA MEMBUAT AHLI BID'AH TERTAWA..
BERSATULAH.. KITAB KITA SAMA..
ULAMA KITA SAMA..
TIADA PERBEDAAN KECUALI AL BAGHYU..
HIDARILAH PENYAKIT ITU..

Saudaraku, SALAFIYYIN terkhusus bagi kalian kami membuat berbagai perkumpulan nashihat ulama agar kita tetap bereda di satu barisan, sungguh musuh ahli bida' telah di depan mata kita, maka tiada guna kita berselisih, diantara Guyuran AIR NASHIHAT dari para Ulama membuat kita instropeksi diri untuk saling menghujat, saling memvonis bahkan tidak menghormati ulama, jika ulama sendiri saja tidak di hormati maka mau dikemanakan dakwah ini, kami menashihatkan untuk admin Web dan blog diantaranya :

*DARUS SALAF
*SALAFY
*FAKTA
*TUK PENCARI AL HAQ
*NYATA dan apapun namanya...

kami sadar di belakang kalian ada Assatidz senior salafy, dan kami menghormati mereka sebagaimana mereka menghormati manhaj ini.. urusan da'i - da'i antara kita itu urusan/hak yakni para ulama atau para assatidz salafiyyin untuk melerai dan saling menashihati dalam kebenaran.

Namun perlu di camkan URUSAN BLOG/ADMIN BLOG, ku nashihatkan kepada kalian wahai admin DARUSSALAF, SALAFY, FAKTA, NYATA, TUQ PENCARI ALHAQ, dan sejenisnya, kami membuka lebar-lebar dan dengan senang hati untuk saling nashihat menahihati sesama ahlussunnah, akan tetapi nashihatilah dengan kalimat yang sebaik-baiknya, dengan kata-kata yang kalian upload sesopan sopanya,meskipun tulisan tersebut asalnya dari seorang ustadz atau siapapun dia yang mengeluarkan kalimat-kalimat jelek, segeralah diluruskan, bukankah mendamaikan kedua muslim yang berselisih merupakan keutamaan, atau kalian tidak mampu menashihati assatidz yang tidak bisa menjaga lisan nya??

maka jika demikian apa beda kalian dengan hizb yang selalu nurut dengan tokoh-tokoh nya. bukankah setiap manusia punya salah?? tanpa kecuali ustadz-ustadz kita bahkan para ulama??

ingatlah perkataan Syaikh Muhammad al Imam ""Terkadang seorang ulama mu'tabar (yang diakui) menjarh sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah
hajr, mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga
menyebabkan peperangan diantara ahli sunnah sendiri, apabila
konsekuensi (jarh tersebut) seperti ini, maka diketahui bahwa
jarh ini menghantarkan kepada fitnah, oleh karena itu wajib
mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat kepada maslahat,
kerusakannya dan apa yang bisa membuat persaudaraan tetap
terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati.
Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara
nyata lebih menimbulkan madharat.”

jika ada dua orang mulai berselisih mereka pun berpecah
menjadi dua kelompok, kelompok yang ini berbangga diri
dengan orang ini dan kelompok itu berbangga diri dengan orang itu.sehinggatanpakhajrdanmuqotho’ah (memutuskan hubungan) antara satu dengan lainnya sesama pengikut ahlus
sunnah di setiap tempat karena adanya perselisihan ini. Hal ini adalah termasuk bencana dan fitnah yang paling besar. Sehingga ahlus sunnah akan terpecah belah berdasarkan pernyataan ketidaksepakatan antara orang ini dan orang itu : apa yang fulan katakan tentang fulan dan fulan!!! Apa pendapatmu tentang fulan dan fulan! Atau bagaimana sikapmu
terhadap fulan dan fulan! Jika jawabanmu selaras dengan
pendapat mereka, maka kamu akan selamat. Dan jika kamu
tidak memiliki pendapat maka kamu akan dilabeli dengan
sebutan mubtadi’, hajr akan dipraktekan dan ahlus sunnah akan
terpecah belah menjadi kelompok-kelompok yang berbahaya!!!

"Ya ALLOH HIASILAH DIRI KAMI DENGAN PERHIASAN AMAL DAN AKHLAK YANG BAIK.. naungilah Ahlussunnah diatas jalanMu.. Jagalah mereka dalam penjagaanMu... staukan lah mereka diatas manhaj ini.. Ya Rabb Hanya kepadamu lah kami mengadukan semua ini.. berilah taufiq kepada kami dan saudara kami untuk kembali bersaudara sebagaimana dahulu kami bersaudara.. sebagaimana Para Shahabat Bersaudara.." YA ALLOH Kepadamu HAMBA MENGADU... Ampunkanlah dosa-dosa kami Karna perselisihan ini dikarnakan DOSA -DOSA KAMI. Allohuma AaMIiN

Jakarta, waktu ashar di ma'had tercinta 14 Rabiut Tsani 1432 H
orang yang faqir dan membutuhkan pengampunannya

Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan AL Bykazi

Ustadz Firanda dibawah Naungan Akhlak


Ustadz Firanda dibawah Naungan Akhlak -hafizhahullloh-
Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

“Kami sekali lagi terharu dengan Di Fitnah nya Ust Kami FIRANDA dengan tuduhan yang tak layak.. lalu ust Firanda membantahnya dengan akhlak yang karimah,
Meskipun Nama Kunyah Ustadz Firanda
BUKAN ABU KARIMAH tapi ABU ABDUL MUHSIN”


Segala Puji Bagi Alloh Rabb Semesta Alam, dan shalawat dan salam tercurah pada baginda Nabi Muhammad shalllahu’ alaihi wa sallam, ‘amma Ba’du :
Ketahuilah tiada yang datang suatu kejujuran kecuali indah dipandang dan enak terucap, dan tiada dating suatu kedustaan dan perkataan yang buruk melainkan kepahitan dirasa dan kegelisahan dihati, inilah sedikit saya membuat risalah untuk menyemangati diri saya dan para thulaab salafiyyin untuk menjaga dan menghiasi lisan dengan keindahan.. sebagaimana para salaf mencontohinya kepada kita meskipun mereka membantah ahlul bida’ sekalipun, Namun tentu dengan kacamata syari’at kapan kita bersikap keras kepada mubtadi’ jika itu mashlahat dan kapan juga kita membantah dengan lembut jika itu meshlahat kenapa tidak,,,?? Atau why Not??

Oleh karna itu berkaitan dengan Akhlak kami salut dan terharu dengan tulisan kepada ustadz kami al Fadhil Abu Abdul Muhsin Firanda bin Abidin andirja as Soronji –semoga Alloh Menjaganya- dalam membantah tulisan saudara kita ia seorang ustadz yang semoga Alloh memperbaiki lisan kita dan lisan ustadz tersebut, sungguh telah sampai kepada kami keterangan dari sayidina kita pemimpin umat akhir zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-
Sholâtu was Salâm pernah ditanya : “Manusia bagaimanakah yang paling
utama (afdhal)?”

Beliau menjawab :
“Manusia yang paling utama adalah yang memiliki hati yang bersih dan
lisan yang jujur.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, adapun lisan yang jujur kami
telah mengetahuinya. Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan orang
yang memiliki hati yang bersih?”

Beliau menjawab :
“Dia adalah hati yang putih lagi murni, tidak ternodai oleh dosa, aniaya,
dendam dan dengki.”

Masya Alloh beruntunglah orang yang memiliki criteria sbagai orang yang paling afdhal –semoga kita termasuk didalamnya-, begitu juga Ustadz Firanda –semoga Alloh menjaganya- meskipun beliau dituduh sebagai ^PENDUSTA, DAJJAL, KADZZAB, DLL^ beliau membantah dalam keadaan tenang dan kami melihatnya dalam tulisan nya tiada satu katapun yang terucap dalam membantah Sang Ustadz, dengan lisan-lisan buruk melainkan dibantah dengan penghinaan diri beliau seperti Beliau (ust Firanda) berkata “jika saya berdusta semoga Alloh Laknat saya dan keturunan saya”, alanghkah ridho nya beliau atas persaksian nya beliau bersumpah untuk dirinya dan keturunanya untuk dilaknat jika beliau berdusta.

Ketahuilah, sungguh amat urgen bagi kita untuk mengetahui bagaimana
metoda kaum salaf (dalam hal ini). Ada sebuah riwayat dari al-Bukhârî secara mu’allaq (sanadnya tergantung) 4 dan dari Ibnu Nashr al-Marwazî dan al-Lâlikâ`î dengan sanad (jalur periwayatan) yang shahîh, bahwa ‘Abdullâh bin ‘Aun al-Bashrî –semoga Alloh merahmatinya- berkata : ““Saya senang apabila mereka meninggalkan manusia kecuali hanya dalam perkara yang baik.”
Maksudnya yaitu, meninggalkan menyebut orang lain kecuali di dalam perkara yang baik.

Kami sangat Huznudzan kepada sang ustadz yang menuduh ustadz Firanda dengan tuduhan yang tiada layak di pajang di internet , mungkin sang ustadz (yang menuduh ust firanda) tersebut tertanam kecemburuan yang tinggi agar ustadz Firanda tidak melakukan apa yang sang sang ust maksud, kami huznudzan akan hal itu, namun ditengah huznudzan nya kami ada yang timbul berupa pertanyaan untuk sang Ustadz (yang menuduh ustadz Firanda) tersebut :

Sudahkah sang Ustadz (yang menuduh ust firanda) bertabayun dengan Ust Firanda ?

Jika sang Ustadz berkata “ini persaksian Syaikh kibar dimadinah”,

Jawab : na’am kami terima , syaikh kibar madinah ( jika tidak mau dikatakan hakikatnya syaikh tersebut orang yang belum dianggap ulama), ya kita anggap saja beliau syaikh kibar , tapi apakah sudah cukup dengan persaksian 1 orang ?

Maka dimana kita simpan hadist Nabi “cukuplah berdusta seseorang yang mengucapkan kepada orang lain yang ia baru mendengarnya:.

Kenapa sang ust (yang menuduh ust Firanda) tidak tabayun minimal kepada Masyaikh yang lebih senior lagi disbanding Syaikh nya Sang Ustadz tersebut?

Jika sang Ustadz (yang menuduh ust firanda) sudah tabayun minimal dengan ust firanda langsung dan diskusi dengannya, Katakanlah “Ust Firanda mengakui kesalahan nya” Apakah kita pantas mengucapkan dengan kalimat-kalimat yang kotor lagi buruk untuk saudaranya sesama Ahlussunnah di Upload didepan umum (internet) yang semua Orang bisa Melihat?

Hendaknya kita menyibukan diri untuk melihat aib-aib kita bukan aib orang lain.. kami sekali lagi terharu dengan di Fitnah nya Ust Kami FIRANDA dengan tuduhan yang tak layak lalu ust Firanda membantahny dengan akhlak yang karimah, Meskipun Napa Kunyah Ustadz Firanda BUKAN ABU KARIMAH tapi Abu Abdul Muhsin” maka hendaknya kita menjaga akhlak kitadan sibukanlah dengan talibul ilmi dan menyibukan pula untuk mengurusi aib-aib kita sebagaimana

Rasululloh bersabda
“Ada salah seorang diantara kalian yang bisa melihat debu di mata saudaranya namun ia lupa akan batang yang ada di pelupuk matanya.” 5 Hadits ini dinilai valid oleh al-Albânî –semoga Alloh merahmatinya-. Hadits ini, mengajak kita untuk mengakui akan aib-aib kita. Terkadang
Anda melihat ada sebuah aib atau lebih pada saudara Anda, kemudian Anda
merasa bahwa Anda lebih baik darinya! Akan tetapi, jika Anda mau
memeriksa lebih lanjut, niscaya Anda dapati bahwa Anda memiliki begitu banyak aib.
Seringkali Anda dapati bahwa aib Anda lebih banyak daripada aibnya. Karena itu, tidak selayaknya kita lalai dari aib-aib kita sendiri, karena setiap dari kita pasti memiliki aib.

Setiap diri kita pasti mempunyai aib, jadi jangan sampai kita lalai dari hal ini. Yang dikehendaki oleh syaithan dari diri kita adalah, agar kita saling menyibukkan diri antar sesama kita, agar kita saling memperbincangkan satu dengan lainnya, dan agar kita saling merendahkan diantara kita,
sehingga ia mampu merusak persaudaraan di antara kita. Semoga Alloh merahmati seseorang yang mau membenahi jiwanya

Jakarta 14 Rabiut Tsani 1432 H

Hamba yang membutuhkan pengampunanNya. Menjelang Dzuhur di Ma’had tercinta

Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

SETETES AIR DARI SYAIKH ABDUL MUHSIN (1)


LAGI SETETES AIR DARI SYAIKH ABDUL MUHSIN UNTUK AHLUSSUNNAH
( kepedulian ulama senior kepada ahlussunnah agar tidak bertikai )

Penulis : al Muhaddits Asy Syaikh Abdul Muhsin AL 'Abbad
( GURU Syaikh Rabi' Bin Hadi al Madkhali ) =semoga alloh menjaga keduanya=

Saya telah menulis pembahasan seperti ini sebelumnya dalam
risalah yang berjudul "Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis
Sunnah", yang dicetak pertama kali tahun 1424 kemudian
dicetak lagi pada tahun 1426, lalu dicetak kembali di dalam
kumpulan buku dan risalah saya (Majmû’ al-Kutub war Rosâ'il
Syaikh al-Abbâd) juz VI hal. 327-381 pada tahun 1428. Saya
paparkan di dalamnya sejumlah besar teks ayat al-Qur'an,
sunnah dan ucapan ulama muhaqqiq (peneliti) dari kalangan
ahlus sunnah. Di dalam risalah ini, setelah muqoddimah
terkandung beberapa bab pembahasan sebagai berikut :
• Nikmat berbicara dan lisan
• Menjaga lisan di dalam berbicara kecuali dalam hal kebaikan
9
• Prasangka dan tajassus (mencari-cari kesalahan)
• Ramah dan lemah lembut
• Sikap ahlus sunnah terhadap seorang alim yang jatuh kepada
kesalahan maka beliau diberikan udzur tidak malah dibid'ahkan
dan dihajr (diboikot)
• Fitnah tajrih (mencela) dan hajr pada sebagian ahli sunnah di
zaman ini dan jalan keluarnya
• Bid'ah menguji manusia dengan perseorangan
• Peringatan dari fitnah tajrih dan tabdi' (vonis bid'ah) pada sebagian
ahli sunnah di zaman ini.
Namun amat disayangkan, akhir-akhir ini malah keadaannya
semakin runyam dengan adanya sebagian ahlus sunnah yang
sibuk dengan celaan, vonis bid'ah hingga muncul sikap saling
menghajr. Pertanyaan seperti ini senantiasa berulang-berulang
ditanyakan : "Apa pendapatmu terhadap fulan yang menvonis
bid'ah fulan", "apakah saya membaca buku si fulan yang
dibid'ahkan oleh Fulan?"
Bahkan sampai-sampai ada sebagian penuntut ilmu junior
berkata
terhadap sesama mereka : "apa sikapmu terhadap
fulan yang dinvonis bid'ah fulan? Kamu harus punya sikap
terhadap hal ini, jika tidak kamu akan kami tinggalkan!!!" Hal ini
semakin diperburuk dengan terjadinya hal seperti ini di sebagian
negara Eropa dan semisalnya yang para penuntut ilmu ahlis
10
sunnah di dalamnya memiliki perbendaharaan ilmu yang masih
sangat minim, padahal mereka lebih sangat membutuhkan
untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan melepaskan diri dari
fitnah saling menghajr yang disebabkan oleh sikap taklid di
dalam tajrih (mencela).
Manhaj seperti ini serupa dengan thoriqoh Ikhwanul Muslimin,
yang mana pendirinya mengatakan tentang jama'ahnya :
...
!!
"Dakwah kalian lebih utama untuk didatangi manusia bukan
mendatangi seseorang... Karena jama'ah ini mengumpulkan
semua kebaikan, sedangkan selain (jama'ah ini) tidak lepas dari
kekurangan" (Mudzakkarât ad-Da'wah wad Dâ'iyah hal 232 cet.
Dâr asy-Syihâb karya Syaikh Hasan al-Bannâ)
Beliau juga berkata :
!!
"Sikap kita terhadap dakwah-dakwah yang beraneka ragam yang
memampoi batas di zaman ini, yang memecah belah hati dan
memporakporandakan fikiran, adalah kita timbang dengan
11
timbangan dakwah kita, apabila selaras dengan dakwah kita maka
marhaban (kita sambut), dan apabila menyelisihinya, maka kita
berlepas diri darinya!!!" (Majmû’ah ar-Rosâ'il Hasan al-Bannâ
hal. 240 cet. Dar ad-Da'wah th. 1411)

Termasuk kebaikan bagi mereka, para penuntut ilmu, ketimbang
sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka sibukkan diri dengan
membaca buku-buku yang bermanfaat karya ahlus sunnah,
terutama buku-buku ulama zaman ini seperti fatwa-fatwa syaikh
kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, fatwa-fatwa Lajnah ad-Dâimah lil
Iftâ`, karya tulis Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn dan selainnya. Karena dengan demikian mereka akan memperoleh ilmu yang bermanfaat dan selamat dari "qîla wa qôla" (desas-desus) dan
memakan daging saudaranya sesama ahlus sunnah.
Ibnul Qoyyim berkata di dalam "al-Jawâbul Kâfi" (hal. 203) :
̄
12
­
"Sungguh aneh, ada orang yang mudah di dalam menjaga dan
memelihara dirinya dari memakan yang haram, berbuat aniaya,
berzina, mencuri, minum khamr, memandang suatu yang haram
dan perbuatan haram lainnya, namun ia berat di dalam menjaga
gerakan lisannya. Sampai-sampai dapat anda lihat, ada seorang
lelaki yang dipuji agamanya, zuhudnya dan ibadahnya, namun ia
berbicara dengan suatu ucapan yang dimurkai Alloh, yang ia
anggap remeh. Dengan satu kata dari ucapan tersebut derajatnya
turun sejauh timur dan barat. Betapa banyak orang yang anda
lihat, menjaga diri dari perbuatan keji dan aniaya, namun
lisannya gemar berbuat fitnah terhadap kehormatan manusia,
baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dan ia
tidak mempedulikan apa yang diucapkannya."
Apabila didapati ada ucapan seorang ahli sunnah yang masih
global dan terperinci, maka hendaknya berbaiksangka
dengannya dan membawa ucapannya yang global kepada yang
terperinci, sebagaimana ucapan 'Umar Radhiyallâhu ‘anhu :
"Janganlah sekali-sekali kamu berprasangka terhadap ucapan
yang disampaikan saudara mukminmu melainkan dengan
persangkaan yang baik dan kamu dapati ucapannya memang bisa
dibawa kepada kemungkinan yang baik",
13
Ucapan ini disebutkan oleh Ibnu Katsîr dalam menafsirkan Surat
al-Hujurât.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab ar-Radd
'alal Bakri (hal 324) :

"Suatu hal yang sudah diketahui bersama bahwa ucapan yang
terperinci itu menentukan ucapan yang global, dan ucapan yang
jelas (shârih) itu lebih didahulukan daripada ucapan yang bersifat
samar (kinayah)."

Beliau rahimahullâhu juga berkata di dalam kitab ash-Shôrimul
Maslûl (2/512) :
"Mengambil pendapat yang masih bersifat umum dari madzhab-
madzhab ahli fikih tanpa kembali kepada apa yang bisa
menafsirkan perkataan merka dan yang dikehendaki oleh ushul
madzhab mereka, akan menghantarkan kepada madzhab yang
buruk"
Beliau juga berkata dalam kitab al-Jawâbush Shahîh liman
Baddala Dînal Masîh (4/44) :
14

"Wajib menafsirkan ucapan seseorang dengan ucapannya yang
lain dan mengambil perkataannya dari sana dan sini, sehingga
bisa diketahui dari kebiasaannya apa yang dimaksudkan dan
dikehendaki dari lafal yang ia kemukakan itu."
Orang yang mengkritik dan dikritik itu tidak ma'shum dan tidak
ada seorangpun dari mereka yang lepas dari kekurangan dan
kesalahan. Mencari kesempurnaan itu memang yang diinginkan,namun jangan sampai hal ini mengecilkan bahkan menghilangkan kebaikan pada selainnya. Karena itu tidak layak
mengatakan : "Kalau tidak sempurna berarti tidak ada", atau
"Kalau bukan cahaya sempurna berarti kegelapan", bahkan
seharusnya menjaga cahaya yang kurang tersebut dan berupaya
untuk menambahnya. Apabila tidak bisa mendapatkan dua
lentera atau lebih, maka satu lentera cahaya itu lebih baik
daripada kegelapan.

SETETES AIR DARI SYAIKH ABDUL MUHSIN (2)


Semoga Alloh merahmati syaikh kami, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz
bin Bâz yang menghabiskan hidupnya dengan ilmu syar’i, mempelajarinya, mendakwahkannya. mengamalkan, Beliau adalah mengajarkan orang yang dan paling menganjurkan masyaikh dan para penuntut ilmu agar (sibuk) mengajar dan berdakwah.

Saya pernah mendengar beliau menasehati salah satu masyaikh tentang hal ini, dan syaikh
tersebut mengemukakan alasan yang tidak diridhai oleh syaikh Ibnu Baz, beliau rahimahullâhu mengatakan : "rabun tidaklah
(sama dengan) buta". Maksudnya adalah, sesuatu yang tidak
bisa diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan sebagiannya.
Apabila tidak ada penglihatan yang kuat dan hanya ada
pengelihatan yang lemah yaitu rabun, maka sesungguhnya
rabun itu masih lebih baik daripada kebutaan.
Syaikh (Ibnu Bâz) kehilangan pengelihatannya semenjak usia 20
tahun, akan tetapi Alloh menganugerahkan kepada beliau
cahaya bashirah, yang orang khusus (para ulama) dan awam
pun sudah mengetahui hal ini.

Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ Fatawa (10/364) :
"Apabila tidak ada cahaya yang bersih/murni dan hanya ada
cahaya yang masih belum bersih sedangkan manusia masih dalam
kegelapan, maka tidak sepatutnya mencela seseorang dan
mencegah dari cahaya yang masih tercampur kegelapan tersebut
16
kecuali apabila sudah ada cahaya yang tidak tercampur lagi
dengan kegelapan. Jika tidak, betapa banyak orang yang
menyimpang darinya akan keluar dari cahaya keseluruhannya."
Dan yang juga semisal dengan ini adalah ucapan sebagian
orang: "Kebenaran itu seluruhnya tidak bertingkat/bercabang,
ambillah seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya", jadi jika
mengambil seluruhnya adalah haq dan meninggalkan seluruhnya
adalah bathil. Barang siapa yang ada padanya kebenaran maka
dinasehati untuk tetap pada kebenaran tersebut dan berupaya
untuk memperoleh kebenaran yang belum ada padanya.
Hajr yang terpuji adalah yang bermaslahat bukannya malah
menyebabkan mafsadat.

Syaikhul Islam berkata didalam Majmû’ al-Fatâwâ (28/173) :
"Jikalau setiap kali dua orang muslim berselisih pendapat
terhadap suatu hal dan langsung saling menghajr, niscaya tidak
ada ada lagi keterpeliharaan dan persaudaraan di antara kaum
muslimin."
Beliau juga berkata (28/206) :
17
)) :
.((
"Syariat hajr itu berbeda-beda dilihat dari fihak yang menghajr,
dari sisi kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, dan
tujuannya adalah untuk membuat jera dan mendidik orang yang
dihajr serta agar masyarakat tidak melakukan perbuatannya.
Apabila maslahat dari hajr itu lebih kuat, menyebabkan keburukan semakinlemah dan memudar, maka hajrnya disyariatkan. Namun jika baik yang dihajr ataupun orang lain
tidak mendapatkan manfaat dari hajr dan bahkan malah semakin
menambah keburukan, sedangkan fihak yang menghajr dalam
posisi lemah dan mafsadat dari hajr lebih besar daripada
maslahatnya, maka hajr tidak disyariatkan..." Sampai ucapan,
"jika hal ini telah diketahui, maka hajr yang syar’i itu termasuk
18
perbuatan yang diperintahkan oleh Alloh dan Rasul-Nya. Oleh
karena itu, ketaatan itu haruslah ikhlas karena Alloh dan haruslah
sesuai dengan perintah-Nya. Sehingga ketaatan itu murni untuk
Allah dan benar pelaksanaannya. Maka barangsiapa yang
melakukan hajr karena hawa nafsunya, atau melakukan hajr yang
tidak diperintahkan, maka ia telah keluar dari syariat. Betapa
banyak perbuatan dilakukan karena mempertutkan hawa nafsu,
namun acapkali dikira karena ketaatan kepada Alloh."
Para ulama menyebutkan bahwa jika seorang alim melakukan
kekeliruan, tidak diikuti kesalahannya dan tidak pula berlepas
diri darinya (dari alim tersebut), kesalahannya diampuni karena masih banyaknya kebenaran padanya. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam "Majmû’ Fatawa" (3/349) setelah perkataan sebelumnya :
...
̄
"Orang-orang seperti mereka jika ucapan bid'ah dari para ulama
tidak dijadikan sebagai pemecah belah jama'ah kaum muslimin,
19
dan dasar menerapkan kecintaan dan permusuhan, maka mereka
anggap termasuk bentuk kesalahan, padahal Alloh Subhânahu wa
Ta’âlâ mengampuni kesalahan orang-orang mukmin dalam hal
seperti ini. Karena itulah, banyak para imam salaful ummah,
mereka berpendapat dengan ijtihadnya, namun menyelisihi al-
Qur'an as as-Sunnah,( tetapi mereka tidak berwala' kepada yang
menyepakatinya, memusuhi orang yang menyelisihinya). Berbeda
dengan orang yang loyal karena sepakat dengannya, benci karena
menyelisihinya dan memecah belah jama'ah kaum muslimin..."
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A'lâmin Nubalâ' (14/39) :
"Sekiranya setiap imam yang keliru di dalam ijtihadnya pada
suatu masalah yang seharusnya mereka dimaafkan atasnya,
namun kita malah membid'ahkan dan menghajr mereka, niscaya
tidak akan ada seorang alim pun yang selamat, baik itu Ibnu
Nashr, Ibnu Mandah dan ulama selain mereka yang lebih senior.
Dan Alloh, Dia-lah yang memberi petunjuk makhluk-Nya kepada
kebenaran dan Dia-lah yang paling maha pemurah. Kita
20
memohon perlindungan kepada Alloh dari hawa nafsu dan sikap
keras."
Beliau juga berkata (14/376) :
"Sekiranya setiap ulama yang bersalah di dalam ijtihadnya,
dengan keimanan yang benar dan bermaksud untuk mengikuti
kebenaran, kita tinggalkan dan kita vonis bid'ah, niscaya akan
sangat sedikit para imam yang selamat darinya. Semoga Alloh
merahmati mereka semua dengan anugerah dan kemuliaan-Nya."
Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa terkadang tajrih (mencela
kredibilitas perawi) itu didorong oleh hawa nafsu. Beliau berkata
di dalam bukunya, "Shayidul Khâthir" (hal. 143) :
...
...
21
"Saya menjumpai banyak masyaikh, dan keadaan mereka
berbeda-beda tingkatan keilmuannya. Yang paling bermanfaat
diantara mereka yang kusertai adalah mereka yang mengamalkan
ilmunya walaupun ada dari selain mereka lebih alim darinya. Saya
juga menjumpai segolongan ulama hadits yang menghafal dan
mengenal (ilmu hadits), akan tetapi mereka memperbolehkan
ghibah dan menganggapnya bagian dari cakupan Jarh wa Ta'dil...
Saya pernah bertemu dengan ‘Abdul Wahhab al-Anmâthi dan
beliau berada di atas pokok salaf, namun tidak pernah didengar di
dalam majlisnya beliau melakukan ghibah..."
Beliau juga berkata di dalam bukunya "Talbîs Iblîs" (2/689) :
"Termasuk perangkap Iblis terhadap ahli hadits adalah, mereka
saling mencela satu sama lainnya untuk menuntut balas, dan
mereka menganggap hal ini dari cakupan jarh wa ta'dil, yang mana para ulama sebelumnya menggunakannya sebagai pembelaan terhadap syariat, dan hanya Allohlah yang mengetahui
maksud tujuan mereka"
22

Apabila ini terjadi di zaman Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun
597 atau sekitar itu, lantas bagaimana kiranya dengan orang-
orang di abad ke-15?!
Baru-baru ini ada sebuah risalah bermutu berjudul "al-Ibânah
'an Kaifiyatit Ta'âmul ma'al Khilâf baina Ahlis Sunnah wal
Jamâ'ah" karya Syaikh Muhammad bin 'Abdillâh al-Imâm dari
Yaman, dan risalah ini dipuji oleh lima ulama Yaman. Di
dalamnya terkandung banyak nukilan dari ulama ahli sunnah
baik terdahulu maupun sekarang, terutama Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim rohimahumâllâh, tentang
nasehat bagi ahlus sunnah untuk saling berbuat baik diantara
mereka.

Saya telah menelaah sebagian besar isi risalah ini, dan memetik
faidah darinya berupa sumber rujukan sebagian penukilan yang
dipaparkan di dalam risalah ini, dari dua imam Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qoyyim. Oleh karena itu saya menasehatkan untuk
membaca risalah ini dan mengambil manfaat darinya.
Alangkah bagusnya apa yang beliau (Syaikh Muhammad al-
Imâm) katakan di dalam risalah ini (hal 170) :
23
"Terkadang seorang ulama mu'tabar (yang diakui) menjarh
sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah
hajr, mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga
menyebabkan peperangan diantara ahli sunnah sendiri, apabila
konsekuensi (jarh tersebut) seperti ini, maka diketahui bahwa
jarh ini menghantarkan kepada fitnah, oleh karena itu wajib
mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat kepada maslahat,
kerusakannya dan apa yang bisa membuat persaudaraan tetap
terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati.
Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara
nyata lebih menimbulkan madharat.”

Tidak ada keraguan bahwa para masyaikh dan penuntut ilmu
lainnya dari ahli sunnah juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara dari Yaman ini, mereka mengeluhkan terjadinya perpecahan dan perselisihan ini, dan
mengharapkan untuk lebih mengedepankan nasehat kepada
saudara-saudara mereka, dan saudara-saudara kita dari Yaman
telah mendahului dalam hal ini, semoga Alloh membalas mereka
dengan kebaikan.
24
Semoga nasehat ini merupakan bagian dari sabda Nabi SAW :
"Keimanan dan hikmah dari arah kanan (dari arah negeri
Yaman) " (HR Bukhari (3499) dan Muslim (188).
Diharapkan nasehat dari saudara kita di Yaman ini dapat memberikan kontribusi positif dari penulisan dan penyebarannya. Saya tidaklah mengira akan ada seseorang dari
ahli sunnah yang mendukung bentuk tajrih seperti ini (yang menyebabkan mafsadat, pent) dan berkonsentrasi mengikutinya, dimana hal ini tidak akan membuahkan sesuatu melainkan sikap permusuhan dan kebencian diantara ahli sunnah serta kerasnya hati.

Keheranan orang yang berakal tidak berhenti sampai di sini, di
saat kaum westernis lagi giat-giatnya merusak negeri Haramain
setelah Allah memperbaikinya. Terutama bencana moral di
forum-forum mereka yang diadakan di Jeddah, yang mereka sebut secara dusta dengan nama "Forum Khadijah binti khuwailid", yang saya menulis tentang hal ini sebuah risalah berjudul "Laa Khuwailid Yalîqu 'Unwânan ittikhâdza Linfilâtin Ism Khadîjah binti Nisâ'" (Tidaklah layak
menjadikan nama Khadijah Binti Khuwailid sebagai nama untuk
kebebasan wanita). Saya katakan, di saat seperti ini, ada ahlus
25
sunnah yang menyibukkan diri dengan saling mencela satu
dengan lainnya dan mentahdzir mereka.
Saya memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar memberikan
taufiq kepada Ahlus sunnah di setiap tempat, agar tetap
berpegang teguh dengan sunnah, saling menyatu dan
bekerjasama di dalam kebaikan dan takwa, dan menghilangkan
segala bentuk perpecahan dan perselisihan diantara mereka.
Saya juga memohon kepada Alloh agar memberi taufiq kepada
seluruh kaum muslimin agar mau memahami agama dan tetap
di atas kebenaran. Semoga shalawat, salam dan keberkahan
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
beliau dan sahabatnya.

16 Muharam 1432 H.
‘Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badri

SAATNYA SYAIKH ALI AL HALABI BERKATA


Penulis :
Syaikh ALi Bin HAsan AL Halabi ( Murid besar AL MUHADDITS SYAIKH NASHIRUDDIN AL BANI )

Sungguh aku berwasiat kepada saudara-saudaraku salafiyyin -dimanapun ia berada- untuk bertakwa kepada Allah Ta’âlâ di dalam pena-pena dan tulisan-tulisan mereka, di dalam melakukan bantahan, menerangkan kesalahan dan mengomentari mereka…

Aku tidak mengatakan pada mereka -saudara-saudaraku salafiyin-:

Jangan kalian tulis!!

Jangan kalian bantah!!

Jangan kalian komentari!!

Tidak!!! Bahkan tulislah, akan tetapi dengan ilmu…

Bantahlah….akan tetapi dengan santun…

Berikanlah komentar…akan tetapi dengan lembut…

Dan sungguh (sebagian saudara-saudaraku) yang bersemangat -atau memiliki kecemburuan- terhadapku bergegas mengatakan:

“Akan tetapi (wahai syaikh!,) mereka yang menyelisihimu itu(!) telah mencerca, berbohong, berbuat kedustaan, mencela dan menuduh!

Maka aku katakan -sebagai jawaban-:

Janganlah kalian melakukan seperti apa yang mereka lakukan.

Jjanganlah kalian berjalan di belakang mereka (mengikuti cara mereka, ed.),

Janganlah kalian terbakar emosi dengan perbuatan-perbuatan mereka!!!

Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mdil -Mahasuci Ia-,

Doakanlah mereka dengan hidayah dan kebaikan…

Ikhlaskan niat karena Rabb kalian ketika dalam membantah mereka….

Berbuat jujurlah bersama diri kalian…

Jangan jadikan tujuan kalian -baik besar maupun kecil!- hanya sebagai pembelaan -semata- terhadap Fulan atau ‘Allan!! (Meskipun perbuatan tersebut -jika sesuai dengan kadarnya- adalah sesuatu yang disyariatkan tidak dilarang)

Jadikanlah tujuan kalian untuk menolong agama dan manhaj kalian (dari hal-hal) yang ditimpa ghuluw, maupun keangkuhan… yang ditimpa tamyî‘ (sikap lembek),hal yang merusak,ataupun keburukan!!

Janganlah kalian kelewat batas di dalam memuji, dan jangan pula berlebihan dalam mencela…

Akan tetapi bersamaan dengan itu saya katakan –dalam mengakui kenyataan yang tidak dipungkiri- :

Sesungguhnya serangan (yang menghancurkan) itu -yang tidak mengenal belas kasih- , penjatuhan (kredibiltas) yang sangat keras ini, dan bantahan yang kejam -yang diarahkan pada kami- akan menghantarkan –dan ini adalah suatu keharusan- kepada balasan perbuatan yang sebaliknya! Yaitu dengan sedikit sikap keras.

Aaku tidak mengatakan : sama seperti sikap keras mereka!! bahkan –hampir- tidak sampai sepersepuluhnya atau kurang dari itu!

Dan ini -atas keadaannya sebagai orang yang menyelisihi- lebih sesuai dengan perkara yang tertanam dalam tabiat jiwa, sebagaimana Rabb kita -mahasuci Ia- berfirman:

وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيل

“Dan sungguh orang-orang yang membela diri setelah dizhalimi tidak ada satu dosapun terhadap mereka.” (QS asy-Syûrâ: 41)

Hanya saja setiap dari kita hendaknya mencurahkan kesungguhan yang pada dirinya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, untuk melawan hal yang mendorongnya untuk membalas, atau mengembalikan permusuhan-, sebagaimana firman Allah Ta’âlâ :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Ankabût : 69)
================================================
* sumber : sebagian perkataan diatas buah dari Faedah Nashihat Syaikh 'Ali Bin Hasan Al Halabi

LERAI PERSENGKETAAN UNTUK SAUDARAKU


SYAIKH MUHAMMAD AL IMAM

Saya nasehatkan kepada setiap penuntut ilmu, supaya mereka lebih
antusias dalam menyelamatkan dirinya, dan menjauhi dari apa-apa yang
dapat mendatangkan bahaya kepadanya. Menjaga kehormatan saudaramu
6
. ad-Dailam adalah Bangsa Kurdi: yaitu satu kelompok etnis yang menganggap diri
mereka penduduk asli suatu daerah yang sering dirujuk sebagai Kurdistan, suatu wilayah yang
meliputi sebagian Iran, Irak, Syria, dan Turki. (http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kurdi).
7
. Negri yang berbatasan dengan India.
- 6 of 20 -

adalah tuntutan syar’i, dan jarh (mencela kredibel seseorang) adalah
haknya para ulama8, dan itupun sebatas dengan kebutuhannya dan
menurut keadaannya yang mendesak. Tidaklah setiap orang berhak untuk
men-jarh dan tidak setiap orang berhak untuk berbicara. Berhati-hatilah
terhadap diri kalian, karena sesungguhnya saya mencintai apa yang ada
pada diri kalian sebagaimana saya mencintai apa yang ada pada diriku
berupa kebaikan.
Untuk itulah saya menasehatkan saudara-saudara saya yang sedang terjadi
di antara mereka perdebatan atau lainnya -yang senantiasa kita nasehatkan
untuk meninggalkan dan menjauhinya-, agar mereka lebih antusias untuk
bersikap lembut terhadap diri mereka sendiri dan bersikap lembut terhadap
sesama mereka. Bersikap lembutlah terhadap diri Anda dan terhadap
saudara Anda, tinggalkanlah segala sesuatu yang dapat mendatangkan
marabahaya. Kami perhatikan bahwa hal ini tidaklah mendatangkan
manfaat maupun maslahat bagi dakwah kita.
Sebagaimana telah kalian ketahui, bahwa para masyaikh di salah satu
taujihât (arahan/nasehat) yang mereka sampaikan, mengatakan : “(hal ini)
tidak ada hasilnya, melainkan hanya bentuk pertengkaran belaka, yang
tidak menyokong sunnah dan tidak pula mematikan bid’ah.” Inilah realita
yang terjadi. Berupayalah untuk mendapatkan kebenaran, jika kalian tidak
mendapatinya, maka ambillah manfaat dari orang yang mendapatkannya,
dan dari orang yang memberikan berita yang nyata. Karena perkara itu
menurut kebenarannya dan menurut apa yang terjadi.
Masalah ini –yaitu saling mencela satu dengan lainnya, berdebat dan yang
semisal- lebih banyak mendatangkan madharat kepada kalian, dan kami
tidak rela hal ini terjadi pada kalian. Kami ridha terhadap penuntut ilmu
yang antusias untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya, yaitu
fokus dengan menuntut ilmu yang bermanfaat. Mungkin diantara kalian
ada yang menyia-nyiakan dirinya, padahal dia jauh lebih butuh untuk
menghafalkan ayat-ayat al-Qur`ân, hadits-hadits, menghafalkan pelajaran
dan mengulang-ulanginya (murôja’ah), serta (perbuatan bermanfaat)
lainnya yang merupakan hal yang paling urgen dan yang paling
dibutuhkan9.
Sebagaimana telah kalian dengar, inilah nasehatku bagi saudara-saudaraku
yang sedang terjadi di antara mereka perdebatan dan yang semisalnya
(perselisihan), bahwa sepatutnya mereka lebih antusias untuk menjaga
dirinya. Adapun saudara-saudara kita –dan mereka ini banyak- yang
menerima arahan ini –dari semenjak dahulu dan mereka tetap senantiasa
8
. Perhatikanlah wahai saudaraku, mencela kredibel seseorang adalah haknya para ulama,
bukan hak setiap orang. Namun kita dapati sebagian ikhwah, ada yang baru sebentar
menuntut ilmu, namun dengan beraninya dia mentahdzîr dan mencela orang lain, bahkan dia
berani mentahdzîr dan mencela para asatidz dan ulama yang tidak sefaham dengannya.
9
. Bukan menghabiskan waktunya dengan mencela dan membicarakan orang lain, atau
menyibukkan diri dengan qîla wa qôla, sibuk mencari-cari kesalahan dan mentahdzîr person-
person yang dituduh begini dan begitu, atau person tersebut berkata begini atau begitu,
kemudian mereka menyibukan diri dengan hal-hal yang mengalihkan mereka dari menuntut
ilmu syar’i.

demikian-, maka mereka telah beristirahat dan lisan-lisan mereka
dari ucapan yang zhalim dan melampaui batas, waktu-waktu
selamat dari ketersia-siaan dan selainnya. Hal ini, kami anggap
bentuk keutamaan dari Alloh Azza wa Jalla. Hal ini dianggap
keutamaan dari Alloh.
selamat
mereka
sebagai
sebagai
Yang dituntut (dari kita) adalah : hendaknya kita saling bekerja sama di
atas kebajikan, kebaikan dan ketakwaan10. Ketahuilah, bahwa kalian semua
ini di sisi Saya adalah sama kedudukannya. Tidak seperti yang dikira bahwa
kita ingin membersihkan persangkaan-persangkaan -seperti yang
dituduhkan-, atau kita memiliki suatu bentuk keinginan tertentu seperti
yang mereka persangkakan. Tidak!
Kalian semua ini adalah murid-muridku dan saudara-saudaraku, dan Saya
adalah saudara kalian. Antara Saya dan kalian hanya ada kerja sama di
dalam kebaikan dan kebajikan, dan saling menasehati di antara kita. Kita
semua bisa melakukan kesalahan –tidak ada seorang pun yang tidak
melakukan kesalahan11-, akan tetapi Alloh menjadikan nasehat itu sebagai
obat dan penawar bagi kita bihamdillâh.
Dan jika Kita mau mendengarkan nasehat dan menerima sikap saling
menasehati dan bekerja sama, maka masalah kita menjadi baik
bihamdillâhi Rabbil ‘Âlamîni. Kita ini bagaikan dua tangan yang satu saling
membersihkan tangan yang lainnya. Jika kita tidak mau menerima nasehat
atau tidak bersegera untuk saling menasehati, maka kelalaian ini tidak
sepatutnya ada seorang pun yang meridhainya, dan jangan sampai ada
diantara kita yang melakukannya.

Kalian adalah para penuntut ilmu di negeri ini (Yaman, pent.) –semoga
Alloh menjaganya-, dan kalian berada pada kedudukan yang sama. Maka
dituntut –sebagaimana telah kalian dengarkan- supaya kita menjauhi
tuduhan-tuduhan yang tidak ada (realitanya). Kita ini bersaudara, kita
harus menjaga persaudaraan dan dakwah kita. Kita harus mementingkan
untuk saling bekerja sama diantara kita di dalam hal yang bermanfaat bagi
kita, bagi agama kita, bagi dunia kita dan bagi akhirat kita. Kita senantiasa
berupaya untuk ini, dan kita menjadikan hal ini sebagi sarana untuk
mendekatkan diri kepaa Alloh, karena di dalamnya terdapat kebaikan yang
berlimpah bihamdillâhi Rabbil ‘Âlamîni.
Ketahuilah, sesungguhnya Saya memperingatkan dari segolongan orang
yang mendorong para pemuda masuk ke dalam fitnah. Saya
10
. Allah Ta’âla berfirman dalam surat al-Mâidah ayat 2:
َ ِ َ ْ ْ َ ِ
‫و َتعاونوا علَى البرِّ والتقوى وال َتعاونوا علَى اإلِ ْثم والعُدوان واتقُوا َّ َ إِنَّ َّ َ شدِيد العقاب‬
َِْ ُ
ُ َ َ َ َ َ ْ َّ َ ِ
ُ َ َ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Mâidah:2).
11
. Rosûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ َ َ َ ِ َ ُّ
‫كل بني آدم خطاء‬
“Setiap anak Adam (manusia) banyak berbuat kesalahan”. (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, dan
ad-Dârimi).
- 8 of 20 -

memperingatkan golongan ini untuk tidak melanjutkan aktivitas buruknya.
Walaupun kami tidak mengetahui siapa golongan dan personnya, namun
bukan artinya bahwa jika kami tidak mengetahuinya lantas kami menjadi
lemah. Tidak! Mungkin bisa jadi Saya mendoakan kejelekan baginya! Ini
adalah tempat ilmu dan tempat kerja sama, bukannya tempat kekacauan
dan fitnah...
Barang siapa datang mendorong Fulan untuk mengobarkan hal ini dan
melakukan untuknya hal tersebut! Maka ini adalah perkara yang kita jauhi.
Apabila ada sesuatu antara diriku dengan saudaraku, maka tidak boleh
melampaui batas, dan tidak boleh memperalat orang lain untuk turut
mengobarkan fitnah, dengan mengatasnamakan : ada sesuatu antara diriku
dan Fulan!! Ini adalah kegagalan! Di dalam mengobati permasalahan, di
dalam perdamaian dan kerja sama di atas kebajikan.

Segolongan orang ini, jika kalian mengetahui person-personnya, kenalkan
Saya pada mereka. Metoda mereka ini tidak benar12, selamanya kami tidak
mau menerimanya. Jika Anda ada masalah dengan Fulan, mengadulah
kepadaku! Kami senantiasa membuka hati kami bagi siapa saja yang ingin
mengadu. Kami akan dengarkan baik fihak yang mengadu maupun yang
diadukan. Kami akan melihat perkaranya, membenahi, mengarahkan dan
memperbaiki saudara-saudara kami, sebatas pengetahuan kami, sebagai
bentuk kerja sama dengan mereka, dan sebagai bentuk untuk menutup
pintu-pintu perselisihan dan pertikaian. Hal ini memang ada bihamdillâhi
Rabbil ‘Âlamîn, dan kalian semua mengetahuinya, bukankah demikian?
Lantas siapa yang mencetuskan fitnah ini? Dan apa yang menjadi pencetus
yang mendorong sebagian pemuda untuk membantu menyebarluaskan
fitnah ini?

Adapun para pemuda, maka saya memperingatkan mereka supaya tidak
mau menerima hal-hal seperti ini, apabila tidak (mau menerima), niscaya
kami akan timpakan malapetaka kepada mereka! Kami tidak mau
menjadikan perkara kami ini dikendalikan oleh para pemuda, dikendalikan
seperti ini... kita dituntut untuk menjadi orang yang berfikir dan berakal.
Sebagaimana telah kalian dengar, kita dituntut untuk bersikap lemah
lembut dan menjaga persaudaraan (ukhuwwah) diantara sesama kita13.
Salah seorang diantara kalian tidak menyangka akan dapat menjalankan
urusannya (...) dan akan berjalan, insya Alloh tidak akan berjalan kecuali
yang haq dan tidak akan langgeng kecuali yang baik.
Kita dituntut untuk saling bekerja sama dengan kejujuran, dan kita saling
tolong menolong satu dengan lainnya dengan kejujuran, keikhlasan kepada
Alloh dan kecintaan terhadap agama kita dan dakwah kepada Alloh serta
kecintaan kepada persaudaraan agama. Kita semua berusaha untuk
12
. Walaupun mereka ngotot mengatakan apa yang mereka lakukan dengan mengatasnamakan
al-Jarh wat Ta’dîl, tapi tetap saja cara mereka ini seperti apa yang dikatakan oleh Syekh -
semoga Alloh menjaganya-.
13
. Ukhuwwah diantara Ahlus sunnah, sebagaimana yang dinasehatkan al-Muhaddits al-
‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd -semoga Alloh menjaganya-.
- 9 of 20 -

melaksanakannya. Apabila kerja sama ini telah terjadi diantara kita -
fabihamdillahi Rabbil ‘Âlamîn- niscaya kita mampu mengalahkan syaithan14
yang senantiasa berupaya untuk merusak hubungan diantara kita15.
Syaithan menginginkan supaya kita menyia-nyiakan persaudaraan kita
sehingga kita masuk ke dalam kancah permusuhan diantara kita.
Saya menasehatkan diri saya sendiri dan saudara-saudara sekalian –
semoga Alloh menjaga mereka- supaya mereka bisa memahami
permasalahan ini. Seperti yang sudah kalian dengar (berulang-ulang),
bahwa di dalam perkara ini kita dituntut untuk saling berkerja sama di
dalamnya. Apabila Anda memiliki masalah dengan Fulan dan Anda sudah
tidak bisa lagi bersabar kepadanya, maka Anda bisa mengadu kepadaku.
Adapun fanatisme (ta’ashshub), atau mendorong orang lain untuk
melakukan demikian atau mengobarkan fitnah, maka yang seperti ini saya
anggap sebagai bentuk kegagalan! Kegagalan di dalam kerjasama diantara
sesama dan di dalam perdamaian! Jika ada masalah antara Anda dengan
saudara Anda, mengadulah kepadaku sehingga kami dapat melihat siapa
yang bersalah, walhamdulillâh sehingga urusan kita tetap dapat berjalan.
Tidak ada yang baru (di dalam metoda) kami -selamanya-, (metoda) yang
ada pada kami adalah apa yang kalian dengarkan saat ini. Kami memohon
kepada Alloh untuk menolong kita supaya tetap saling bekerja sama dan
berdiri di atas (metoda) ini. Karena metoda ini adalah lebih baik bagi kita,
lebih bermanfaat dan lebih selamat, serta merupakan perkara yang -insya
Alloh- lebih mudah diterima oleh pemahaman mayoritas kalian -bihamdillâhi
Rabbil ‘Âlamîn-.
Kita saling menjaga kehormatan diantara kita dengan cara yang syar’i lagi
bermanfaat
–sebagaimana
yang
kalian
dengar-.
Kami
tidak
memperbolehkan
menjelekkan
seorang
pun
dan
berinteraksi

(bermu’amalah) dengan cara yang tidak syar’i. Kami tidak menghendaki
yang demikian ini. Kami menjauhkannya dan kami melihat bahwa ada
seseorang yang merendahkan bentuk kerja sama yang seperti ini.
Adapun para ikhwah yang sedang terjadi pada mereka suatu perbedebatan
antara satu dengan lainnya, maka mereka semua adalah saudara kita di
mata dan kepala kami (menurut pandangan kami). Tidak ada diantara kami
dan mereka melainkan persaudaraan di dalam agama, sikap saling
menasehati dan bekerja sama. Kami tidak memiliki suatu sikap yang
tersembunyi yang akan tampak di masa yang akan datang!
14
. Karena tipu daya syaiton itu sangatlah lemah, sebagaimana firman Allah Ta’âla:
َ َ َ ِ َ
‫إِنَّ كيْدَ الشيْطان كان ضعِيفا‬
“Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”. (QS. an-Nisâ:76).
15
. Alloh Ta’âla berfirman:
َّ ُ ِ
‫إ َِّنما يُريد الشيْطانُ أَنْ يُوقِع ب ْي َنكم العدَ اوة وال َبغضاء‬
َ ْ ْ َ َ َ َْ ُُ َ
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu”. (QS. al-Mâidah:91)

INDAHNYA PERSATUAN SALAFIYYIN



UNTUKMU AHLUSSUNNAH... BERSATULAH...
LUPAKAN PERSENGKETAAN IJTIHADIYYAH..
SEBAB PERSELISIHAN AHLUSSUNNAH ADALAH AIB..

MARI.. BERSATU..
MUSUH KITA PARA AHLI BID'AH MENGEPUNG DAN MEMBODOHI KAUM MUSLIMIN..
JANGAN LAGI!! KALIAN BERSENGKETA...
MEMBUAT MUBTADI' SENANG DAN GEMBIRA...

SEBAB INILAH JALAN KITA JALAN YANG HAQ..
BAGIMU AHLUSSUNNAH BERSATULAH...

by : Abu Usaamah

Narasumber :

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi

INDAHNYA PERSATUAN SALAFIYYIN

Bersatu dan berkasih sayang merupakan ciri khas ahlus sunnah sedangkan berpecah belah dan berselisih merupakan ciri khas ahli bid’ah. Namun, sungguh amat disayangkan, ciri khas ahlus sunnah ini –yaitu bersatu dan kasih sayang- telah mulai terkikis dan ciri ahli bid’ah –yaitu berpecah belah dan berselisih- mulai mengambil bagian dan merasuki barisan ahlus sunnah.Sungguh, keadaan ini akan menguntungkan musuh-musuh Islam dan ahli bid’ah, karena bagaimana ahlus sunnah dapat berdakwah menyeru kepada kejayaan Islam dan persatuan ummat, apabila mereka sendiri saling bertikai, berselisih dan berpecah belah.

Oleh karena itulah, para ulama turun memberikan penjelasan dan nasehat supaya ahlus sunnah mau untuk saling berkasih sayang dan bersatu serta meninggalkan pertikaian dan perselisihan mereka. Diantara para ulama tersebut adalah Fadhilatusy Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi hafizhahullahu.Berikut ini merupakan ceramah beliau yang sangat bermanfaat dan anggun, yang dikemas dengan bahasa halus dan lembut, sebagai nasehat bagi ahlus sunnah untuk mau berlemahlembut kepada saudaranya, bersatu dan saling menyayangi. Dan nasehat kepada umat untuk menjauhi segala bentuk perpecahan dan perselisah, serta belenggu-belenggu hizbiyah, ashobiyah, taqlid dan semangat buta yang jahiliyah –tidak diiringi oleh ilmu syar’i-.

Aduhai, betapa banyak mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut Syaikh Rabi’ bin Hadi, menukil ucapan-ucapan beliau, bahkan menjadikan ucapan dan fatwa beliau sebagai dasar di dalam berwala’ dan baro’ dan dasar di dalam menilai keahlussunnahan seseorang. Namun, pada hakikatnya manhaj mereka jauh dari manhaj syaikh, uslub mereka jauh dengan uslub Syaikh.Mereka ini, hanya mau mengambil sesuatu yang terkesan keras saja, tanpa mau menengok akhlak dan adab syaikh sebenarnya. Mereka mengambil ucapan syaikh yang selaras dengan ambisi dan hawa nafsu mereka, namun tatkala dihadapkan dengan perintah untuk berlemah lembut, mereka malah mencak mencak dan mencela orang yang mengajak kepada kelemahlembutan, dan menuduh mereka sebagai mumayyi’in (orang yang lunak manhajnya) dan seakan-akan menganggap bahwa Syaikh Rabi’ tidak mengajarkan kelemahlembutan, kelemahlembutan itu hanyalah untuk kami dan rekan-rekan kami yang sepakat dengan kami saja, apabila tidak sepakat, maka mereka bukan saudara kami dan tidak berhak untuk kami sikapi dengan kelemahlembutan.

Demikianlah, sikap pongah, arogan dan angkuh mereka ini malah membuat umat tanfir (lari menjauhi kebenaran). Akhirnya, terciptalah iklim fobia dan sindromatik kepada dakwah salafiyyah, stigma burukpun disematkan kepada dakwah mubarokah ini sebagai dakwah pencela dan penghujat. Bahkan, syaikh Rabi’ pun dihujat oleh sebagian besar kalangan dikarenakan seringnya mereka –para pemuda yang ekstrim ini- menukil ucapan syaikh dan menempatkannya sekena hati mereka tanpa memandang maslahat dan madharatnya. Menerapkan semua ucapan syaikh secara membabi buta tanpa memperhatikan maslahat dan madharat.Umatpun mulai mengenal sosok Syaikh Rabi’ bin Hadi raghmun unufihi sebagai sosok yang keras, suka mencela, menghujat dan lain sebagainya, hanya karena ulah oknum yang katanya mengaku-ngaku mencintai syaikh dan dakwah salafiyyah. Namun, mereka sendirilah yang akhirnya mencela syaikh dan menyebabkan pencelaan terhadap syaikh dikarenakan ulah serampangan yang mereka lakukan.

Syaikh hafizhahullahu sendiri di dalam risalah ini telah menasehatkan supaya cerdas di dalam berdakwah. Kepada umat yang masih awam, janganlah menyebutkan nama ulama yang mereka fobia dengannya, namun sebutkanlah ulama yang mereka menerima dan tidak mungkin akan mencelanya. Apabila kita berdakwah dan memulai dengan mencela, maka kita sendirilah yang akan dicela. Apalagi, jika ketika kita mencela membawakan ucapan para ulama, maka sungguh, kita telah menzhalimi para ulama tersebut karena menyebabkan umat menjatuhkan celaannya kepada mereka…

‘Ala kulli haal, semoga risalah ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin.

SURAT CINTA UNTUK HIZBUT TAHRIR (1)


SURAT CINTA UNTUK HIZBUT TAHRIR, menarik memang melihat judul nya, seolah-olah kami Pro dengan mereka, seolah-olah kami mendukung mereka akan tetapi makna CINTA Kami kepada Hizbut Tahrir memang BENAR, BUKAN TIPU MUSHLIHAT, Karna hizbut tahrir adalah muslim, namun menyimpang maka kami tidak mau saudara semuslim kami menyimpang maka kami pun dengan cinta dan kasih sayang kami untuk memberikan nashihat agar kembali kepada al Haq.

berikut Sebuah bantahan kasih sayang terhadap artikel berjudul “Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??” dan di bantah oleh Ustadz Badrussalam -semoga ALloh menjaganya-.

Judul asli artikel Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata) karya tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Syamsudin Ramadhan An-Nawiy hadahullah



Oleh al Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc. hafizhahullah


Berkata Syamsuddin Ramadlan (HTI):

Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??

Tanggapan: Tukulkah yang menjadi panutanmu ??
HTI: Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafus sholeh.

Tanggapan: Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa hukum asal menasehati adalah dengan rahasia. Ibnu Hibban berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya.. akan tetapi wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan siapa yang menasehatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala hal 196).

Imam Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan jauhi nasehat di depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia adalah salah satu macam mencaci maki yang aku tidak suka mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).

HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).

Tanggapan: Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang bodoh?? Ya.. menuduh memang mudah.. namun Allah yang maha tahu siapa yang sebenarnya bodoh..
HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.

Tanggapan: Bila yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka mereka berdasarkan dalil dan perbuatan para shahabat dan para ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barang siapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah terang-terangan , namun ambillah tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah melaksanakan tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).

Adapun perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para pembesar kami dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami, (mereka berkata): “Janganlah kamu mencaci maki umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati mereka”.(Al Hujjah fii bayanil Mahajjah 2/435).

Ziyad bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata: “Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu Bakrah berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di bumi, Allah akan hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan lainnya).

Dikatakan kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan (maksudnya Utsman bin Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah berkata: “Sesungguhnya kamu memandang bahwa bila aku mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu, sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa membuka pintu, dan aku tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”. (HR Bukhari no 3267 dan Muslim no 2989). Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.

Al Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau menjauhi berbicara di hadapan manusia, demikianlah yang wajib dalam menegur pembesar dan umara, hendaknya mereka dihormati di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka, dan menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban menasehati mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja”. Maksudnya berbicara langsung dengan ucapan yang lemah lembut, sebab yang demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan terang-terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara terang-terangan”. (Al Mufhim 6/619).

HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.

Tanggapan: Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang antum fahami itu ternyata bertentangan dengan apa yang difahami oleh para ulama..

HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:

اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي

“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?

Tanggapan: Itu karena antum kurang memahami hakikat qiyas, karena di sini antum menyamakan apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas antum ini bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati penguasa secara terang-terangan..

HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).

Tanggapan: Itu karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya hasan atau shahih yaitu hadits yang menjelaskan tata cara menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara terangan-terangan, karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari jalan-jalan lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis.. sebab perbuatan itu sama saja membongkar kebodohan antum sendiri..

SURAT CINTA UNTUK HIZBUT TAHRIR (2)




HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?

Tanggapan: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..

HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.

Tanggapan: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..

HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.

Tanggapan: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar Husain datang kepada mereka..

Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam masalah-masalah besar seperti ini..

HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.

Tanggapan: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:

أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ

“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).

HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

Tanggapan: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).

Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.

HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]

Tanggapan: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..

Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.

HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]

Tanggapan: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.
HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]

• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]

Tanggapan: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.

HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.

Tanggapan: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.

Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]

Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan para fuqaha??!
HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?

Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.

SURAT CINTA UNTUK HIZBUT TAHRIR (3)


BANTAHAN KEPADA TOKOH HIZBUT TAHRIR


HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas.

Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan kelemahannya dalam memahaminya..

HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.

Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]

Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.

Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.

Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: HaddatsanaIshaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.

Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.

Sabarlah (Untuk UMAT MUSLIM JEPANG) (1)



Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Bersabarlah Atas Musibah (Untuk UMAT MUSLIM JEPANG)

Judul diatas memang agak sedikit kontroversial, sebab apa ada umat muslim di jepang?

Wahai saudaraku, memang Negeri Jepang adalah Negeri yang meyoritas penduduknya kafir dan musyrik, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya penduduk jepang yang beragama islam, meskipun \satu atau dua orang pun tak akan membuat patah semangat penulis untuk motivasi rakyat muslim jepang untuk bersabar atas musibah, akan tetapi kami yakin penduduk jepang yang muslim lebih dari satu / dua orang, minimal kita doakan agar kesabaran menetap dalam hati setiap muslim yang terkena musibah di jepang entah dari manapun negerinya, indonesia kah, saudi kah, dan seterusnya mereka adalah muslim namun ku khususkan KEPADAMU MUSLIM JEPANG..!!! BERSABARLAH..


Wahai saudaraku muslim jepang, perlu diketahui Yang namanya musibah tentu rasanya tidak mengenakkan. Makanya banyak manusia merasa tidak suka bila hidupnya tiba-tiba menjadi menderita karena musibah. Kehidupan yang selama ini mapan bisa hancur tak bersisa. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami kesedihan berlarut-larut hingga menyebabkan stress. Bagaimana kiat menghadapi musibah secara benar dan bijak?

Dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, manusia senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta tahu akan kelemahan dirinya.

Tidak dipungkiri, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, sekian orang yang dicinta kini telah tiada. Harta benda musnah tak tersisa. Berbagai agenda dan acara pun harus tertunda. Bahkan segenap pikiran tercurah untuk meratapi diri.

Kondisi yang menyayat ini terkadang menggugah orang yang dalam hatinya ada sifat rahmat dan belas kasih. Sehingga uluran tangan dan bela sungkawa pun mengalir dari berbagai arah. Intinya, meringankan penderitaan orang yang terkena bencana. Nilai kepedulian yang datang dari orang lain jelas memberi arti. Namun yang terpenting adalah bagaimana menghibur hati orang yang menderita itu serta menumbuhkan seribu harapan untuk menatap masa depannya. Hal ini penting, karena bantuan dari manusia bisa terputus, dan orang yang kemarin membantu mungkin saja kini justru perlu dibantu.

Ini ketika mereka membantu dengan tulus dan tidak ada tendensi lain. Maka bagaimana kiranya jika kebanyakan orang yang membantu punya tujuan-tujuan politis atau bahkan para misionaris yang ingin menancapkan cakarnya di tubuh orang-orang yang lemah untuk dimurtadkan?
Maka sudah seharusnya kita umat Islam menjadi orang-orang yang terdepan dalam memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang ditimpa musibah, baik bantuan moril ataupun materil. Kita paparkan di hadapan umat tentang keagungan syariat ini serta keindahannya, dan bahwa Islam ini mampu menjawab problematika zaman. Kita sampaikan hiburan yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya serta petuah para salaf umat ini.

KEPADA SAUDARAKU MUSLIM JEPANG
MARI Kita mengenal Musibah...
Hakikat Musibah
Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Berkata Al-Imam Al-Qurthubi: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 2/175)

Macam-macam Musibah
Sungguh musibah beragam bentuknya. Ada yang menimpa jiwa seseorang, tubuhnya, hartanya, keluarganya, dan yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Ath-Thabari berkata: “Ini adalah pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para pengikut Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat, supaya (nyata) diketahui orang yang mengikuti rasul dan orang yang berpaling.” (Jami’ul Bayan, 2/41)

Pentingnya Istirja’ ketika Musibah
Istirja’ adalah ucapan:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُوْنَ

“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)
Shahabiyah Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no. 918)
Ummu Salamah berkata: “Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja’ dan mengatakan: ‘Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.’
Kemudian aku berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah? Maka tatkala telah selesai masa ‘iddah-ku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku) di mana waktu itu aku sedang menyamak kulit… Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melamarku.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang sangat pencemburu. Saya khawatir, anda akan melihat dari saya sesuatu yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang sudah berumur dan banyak anak.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Dan apa yang engkau sebutkan tentang umur maka aku juga sama (sudah berumur). Dan yang engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah tanggunganku.’
Aku berkata: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.’ Lalu beliau menikahiku.
Ummu Salamah berkata setelah itu: “Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad)
Ini merupakan bukti dari firman Allah:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

“Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Yaitu adakalanya seseorang diberi ganti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang lebih baik. Seperti yang dialami Ummu Salamah ketika suaminya meninggal. Ketika Ummu Salamah mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan apa yang beliau perintahkan dengan penuh ketaatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala ganti dengan yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya kebaikan adalah apa yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sedangkan kesesatan serta kecelakaan ada pada penyelisihan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Tatkala Ummu Salamah tahu bahwa segala kebaikan yang ada di alam ini -baik umum atau khusus- datangnya dari sisi Allah, dan bahwa segala kejelekan yang ada di alam ini yang khusus menimpa hamba dikarenakan menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka ketika Ummu Salamah mengucapkan kalimat tersebut ia mendapatkan kemuliaan mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Terkadang pula dengan kalimat istirja’ tadi seorang hamba mendapatkan kedudukan yang tinggi dan pahala yang besar.
Kalimat ini (إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ) mengandung obat/penghibur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bagi orang yang ditimpa musibah. Kalimat ini adalah sesuatu yang paling tepat dalam menghadapi musibah dan lebih bermanfaat bagi hamba untuk di dunia ini dan akhirat kelak. Karena di dalamnya terkandung pengakuan yang tulus bahwa hamba ini, jiwanya, keluarganya, hartanya dan anaknya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah jadikan itu semua sebagai titipan yang ada pada hamba. Jika Allah mengambilnya maka itu seperti seseorang yang mengambil barang yang dipinjam oleh peminjam.
Kalimat ini juga mengandung pengukuhan bahwa kembalinya hamba hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang pasti akan meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya. Ia akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat sendirian, sebagaimana awal mulanya. Tiada keluarga dan harta yang bersamanya. Ia akan datang nanti dengan membawa amal kebaikan dan amal kejelekan.

Penghibur Kesedihan
 Sebagian orang menyangka bahwa orang yang ditimpa penyakit atau semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal tidak seperti itu kenyataannya. Karena terkadang seorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia disisi-Nya seperti para nabi, rasul, dan orang shalih. Sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masih di Makkah, saat perang Uhud dan Ahzab serta ketika wafatnya. Musibah juga menimpa Nabi Ayyub, Nabi Yunus, dan nabi yang lainnya ‘alaihimussalam. Itu semua untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh (kesabaran) bagi orang yang datang setelah mereka.
Terkadang seorang diuji dengan kesenangan -seperti harta yang banyak, istri, anak-anak, dan lainnya- namun tidak sepantasnya untuk dikatakan sebagai orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak melakukan ketaatan kepada-Nya. Orang yang mendapatkan itu semua bisa jadi memang orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bisa jadi orang yang dimurkai-Nya.
Keadaannya berbeda-beda, sedangkan kecintaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah karena kedudukan, anak, harta dan jabatan. Kecintaan di sisi-Nya diraih dengan amal shalih, takwa dan kembali kepada Allah serta melaksanakan hak-hak-Nya. (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 7/150-151)
Seorang mukmin hendaklah yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan menimpanya, tidak meleset sedikit pun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23)

 Seseorang yang ditimpa musibah hendaklah melihat apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niscaya ia akan mendapatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sesuatu yang lebih besar dari lenyapnya musibah, bagi orang yang sabar dan ridha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)

 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Senantiasa bala` (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)

 Seorang yang ditimpa musibah hendaklah tahu bahwa di setiap sudut kampung dan kota bahkan setiap rumah, ada orang yang tertimpa musibah. Di antara mereka ada yang terkena musibah sekali dan ada pula yang berkali-kali. Hal itu tidak terputus sampai seluruh anggota keluarga terkena semua. Dengan demikian ia akan merasakan ringannya musibah karena bukan hanya dia yang terkena cobaan.
Jika melihat ke kanan, ia tidak melihat kecuali orang yang terkena musibah. Dan jika melihat ke kiri, ia tidak melihat kecuali orang yang sedih. Bila orang yang terkena musibah tahu bahwa jika dia memerhatikan alam ini tidaklah ia melihat kecuali di tengah-tengah mereka ada yang terkena musibah, baik dengan lenyapnya sesuatu yang dicintai atau tertimpa dengan sesuatu yang tidak mengenakkan. Maka dia akan tahu bahwa kebahagiaan dunia hanyalah seperti mimpi dalam tidur atau bayangan yang lenyap. Jika kesenangan dunia membuat tertawa sedikit, ia akan menjadikan tangis yang banyak. Dan tidaklah suatu rumah dipenuhi keceriaan kecuali suatu saat akan dipenuhi ratap tangis. Muhammad bin Sirin berkata: “Tiada suatu tawa kecuali setelahnya akan datang tangis.”

 Seorang hamba melihat dengan mata hatinya sehingga ia tahu bahwa pahitnya kehidupan dunia itu adalah suatu hal yang manis di akhirat dan manisnya dunia merupakan perkara yang pahit di negeri akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang membaliknya. Lihatlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Di hari kiamat nanti akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling mendapatkan nikmat dari penghuni neraka, lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah mendapatkan kenikmatan?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Dan akan didatangkan seorang yang paling menderita di dunia dari penduduk surga lalu ia dicelupkan ke dalam surga sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, pernahkah kamu melihat penderitaan? Pernahkah kamu merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab: “Tidak demi Allah, wahai Rabbku. Tidak pernah aku mengalami penderitaan dan tidak pernah melihat kesengsaraan.” (HR. Muslim no. 2807)

 Orang yang ditimpa musibah hendaklah meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya. Hendaklah ia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama orang-orang yang sabar.

 Hendaklah orang yang ditimpa musibah memantapkan dirinya sehingga tahu bahwa musibah yang datang kepadanya itu datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan keputusan dan takdir-Nya. Hendaknya dia menyadari pula bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menakdirkan musibah kepadanya untuk membinasakan dan menyiksanya, tetapi Ia mengujinya untuk diuji kesabaran dan keridhaannya serta pengaduannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Hendaklah diketahui bahwa musibah yang paling besar adalah musibah yang menimpa agama seorang. Seperti seseorang yang dahulu rajin ibadah, namun kini bermalas-malasan, atau orang yang dulunya taat kini meninggalkannya dan suka dengan kemaksiatan. Inilah musibah yang tidak ada keberuntungannya sama sekali.

 Al-Imam Ibnul Jauzi menyebutkan beberapa perkara untuk mengobati musibah sehingga seorang tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membinasakan dan mengabaikan hak dan kewajiban, yaitu:
- Mengetahui bahwa dunia tempat ujian dan petaka serta bahwa musibah suatu hal yang pasti terjadi.
- Memperkirakan adanya orang yang ditimpa musibah lebih besar dan banyak dari musibahnya, serta melihat keadaan orang yang ditimpa musibah seperti musibahnya sehingga ia terhibur karena bukan hanya dia saja yang terkena musibah.
- Meminta ganti yang lebih baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap pahala dari kesabarannya.
(Diambil dari kitab Tasliyatu Ahlil Masha`ib karya Al-Imam Muhammad Al-Munbajja Al-Hanbali -dengan ringkas- hal. 13-22)

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!